Khutbah atau khitobah adalah ungkapan atau
wacan ayang ditunjukkan untuk orang banyak dan khalayak ramai dalam rangka
menjelaskan suatu perkara penting, yang dipergunakan untuk mempengaruhi,
memotivasi, mempertahankan pendapat-pendapat yang lain dan mempertahankan
mazhabnya (Wargadinata, 2008:164).
Khutbah diorasikan karena muncul suatu sebab yang
menyebabkan ia diorasikan, seperti halnya khutbah Hani bin Qabishoh. Khutbah
Hani bin Qabishoh termasuk ke dalam golongan khutbah periode jahiliyah.
Khutbah periode jahiliyah memilki beberapa sebab yang
menyebabkannya muncul, diantara beberapa sebab kemunculan khutbah periode
jahiliyah yakni: a). Banyaknya perang antar kabilah. Banyaknya peperangan yang
terjadi mendorong mereka untuk membalas saling membalas dendam, merendahkan
musuh, membangkitkan kabilah dari kelengahan mereka akan adanya musuh atau
membangun mobilitas untuk menghadapi musuh b). Sebagai pesan untuk mengerjakan
pekerjaan yang disenangi dan memiliki sifat yang terpuji, mempertimbangkan
akhir segala sesuatu dan lain-lain.
Khutbah orang arab pada zaman jahiliyah ada yang panjang
dan ada pula yang pendek, masing-masing disesuaikan dengan keadaan dan
tempatnya., tetapi mereka lebih cenderung untuk menggunakan yang pendek karena
tabi’at mereka yang senang pada hal yang ringkas karena lebih mudah dihafal dan
lebih tersebar di daerah-daerah. Mereka sangat memperhatikan khitabah terutama
yang pendek-pendek yang mana terdapat di dalamnya mutsul dan hikam serta
nasihat.
Berikut ciri khas khutbah pada zaman jahiliyah :
1. Kalimat yang ringkas
2. Lafadz yang jelas.
3. Maknanya mendalam.
4. Sajak (setiap kalimat berakhiran dengan huruf yang
sama).
5. Sering dipadukan dengan syair, hikmah dan matsal.
Berikut contoh teks khutbah pada zaman Jahiliyah, yang
disampaikan oleh Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani untuk mendorong semangat
kaumnya pada pertempuran Dzi Qorin :
"يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي
من القدر, و إن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره,
و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا آل بكرٍ : قاتلوا فما للمنايا
من بدٍّ"
“Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara
terhormat lebih baik dari orang yang selamat karena lari dari medan juang.
Sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan
sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia,
jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik
daripada lari darinya. Tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia
dibanding tikaman dipunggung kalian. Wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena
kematian adalah suatu kepastian..“.
Latar belakang munculnya khutbah Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani
yaitu, Ada seorang raja Persia bernama Kisra yang memaksa Hani bin Qobishoh
Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan oleh Nu’man ibnul Mundzir
(salah seorang penguasa Irak) kepadanya. Hani menolak permintaan tersebut demi
menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga terjadilah perang antara
tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh Hani, pertempuran
tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak yang bernama
Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum
pertempuran tersebut berlangsung Hani’ membakar semangat para pasukannya dengan
khutbah/orasi di atas.
Hani bin Qobishoh memiliki nama asli “Hani bin
Qobishoh bin hani bin mas’ud ay-syaibaniy”, beliau seorang pemimpin bani
syaiban, beliau termasuk salah seorang yang terkenal karena keberanian, dan
kefasihannya di akhir zaman jahiliyah.
Isi khutbah Hani di atas mengandung dorongan kepada kaumnya untuk
berperang menghadapi
musuh
dan disana tampak sifat
pemberani dari hani bin Qabishah. Di awal khutbahnya Hani menggunakan nida’ dengan
huruf يا untuk mencari perhatian dari para
audientnya. Di awal khutbahnya pula Hani
mengabarkan pada kaumnyaهالك معذور خير من ناج فرور “Bahwa
mati di medan pertempuran lebih mulia dari pada melarikan diri medan juang”. Pada
kalimat itu Hani tanpa menggunakan huruf taukid karena mereka mengetahui betapa mulianya orang yang mati di
medan perang karena membela sesuatu yang baik. Maksud dari kata هالك “orang yang kalah” pada kalimat tersebut yaitu ميّت “mati”, seperti yang terdapat dalam
firman Allah *كل شيئ هالك إلا وجهه*“segala sesuatu pasti mati kecuali
Allah” (Qs. Al-Qashah:88). Sedangkan kata فرور pada khutbah diatas merupakan
shighot mubalaghoh dari kata فرّ “melarikan
diri” seperti yang terdapat dalam firman allah : *يوم يفرُّ المرءُ
مِنْ أخيه* “pada
hari itu manusia lari dari saudaranya” (Qs. ‘Abasa :34). Kemudian Hani juga
menasehatkan إن
الحذر لا ينجي من القدر “bahwa ketakutan kalian terhadap kematian
tidak akan menyelamatkan kalian dari ketentuan Allah”, pada kata الحذر yang memiliki arti “berhati-hati”
maksudnya yaitu mereka berhati-hati/waspada karena mereka takut akan kematian
yang mengancam jiwa mereka dan kematian, akan tetapi walaupun mereka telah
berhati-hati terhadap kematian atau bersemangat dalam berperang untuk
mendapatkan syahid, takdir allah atas manusia akan kematiannya telah tertulis
di lauhul mahfudz. Nasihat hani selanjutnya
و
إن الصبر من أسباب الظفر “sesungguhnya kesabaran adalah jalan
kemenangan”, dan kesabaran tidak akan datang kecuali dengan pertolongan Allah
ta’ala. Kata الظفر “kemenangan”
maksudnya kemenangan atas pertolongan dari Allah yang menyelamatkan mereka dari
kematian. Pada kedua kalimat إن الحذر لا ينجي من القدر dan
و
إن الصبر من أسباب الظفر hani menggunakan satu huruf
taukid إن sebagai
penguat, yang mana itu baik sekali disampaikan kepada kaumnya sebagai kalimat
berita yang berkesan meyakinkan dan menghilangkan keraguan pada benak kaumnya. Nasihat
selanjutnya المنيَّة
ولا الدنيَّة “raihlah kematian secara mulia
jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini”. المنيَّة sinonim
kata الموت
“kematian”
jama’nya المنايا. Sedangkan الدنيَّة “yang hina/rendah”. Hani menyeru
kepada untuk meraih kematian bukan dengan cara yang hina / rendahan akan tetapi
dengan cara yang mulia yaitu dengan و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في
الأعجاز و الظهور استقبال
الموت خير من استدبا ره “menghadapi kematian lebih baik
daripada lari darinya dan tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia
dibanding tikaman dipunggung kalian”. kata الطعن “sekali (tusukan)” maknanya memukul
dengan sesuatu yang tajam seperti tombak
yang bisa menembus dengan sekali tusukan. Sedangkan kata ثغر “tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan
dari musuh” dan النحور “atas
dada” yang biasanya pada binatang merupakan tempat untuk menyembelih. الأعجاز “orang yang lemah” walaupun ditikam
menunjukkan kepada suatu kelemahan untuk menghindari sesuatu, tapi di sini
orang yang lemah karena di tikam lebih mulia dari pada seorang wanita. Adapun maksud
dari menghadapi kematian itu lebih mulia yaitu ketika menghadapi kematian itu
semata-mata karena ingin mencari wajah Allah semata, bukan karena untuk mencari
pujian atau yang semisalnya. Nasihat tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang
di tusuk/ di tikam oleh lawannya di dada lebih mulia dari pada mereka yang
mendapat tikaman di punggung. Sesungguhnya tikaman di dada menunjukkan suatu
keberanian adapun tikaman di punggung menunjukkan ketakutan. Itulah nasihat,
perumpamaan, dan hikmah yang terkandung dalam khutbah hani.
Pada
akhir khutbah Hani يا
آل بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد “Wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena kematian
adalah suatu kepastian..” Hani bin Qabishoh kembali
menyemangati kaumnya untuk ikut berperang dan menyuruh mereka untuk
meninggalkan ketakutan akan kematian. Karena kematian merupakan
perkara
yang sudah pasti adanya dan apabila pada hari itu ada yang tidak mati terbunuh karena bertempur
dengan musuh di medan perang maka besok ia mati karena sebab yang lain.
Dari khutbah Hani bin Qobishoh
yang telah di jabarkan di atas, terdapat kesesuaian sajak pada setiap kalimatnya
seperti penggunaan kata terkahir/dlorbu, penggunaan rima yang jelas dan
beraturan dengan akhiran huruf ر dan هـ di
setiap akhir baitnya, sedikit menggunakan pengibaratan, kalimatnya ringkas
tanpa bertele-tele dengan makna lafadz yang mendalam, dan isi khutbahnya
memiliki kesesuaian ide dengan temanya, serta sebagian isi khutbahnya
mengandung nasihat dan hikmah
Daftar Pustaka
Shofwat, Ahmad Dzaki. 1933 M/1302 H. Jamharatu
Khutbatul-‘Arabi – fi ‘Ushuuril-‘Arabiyyah. Daarul-‘Ulum.
Wargadinata,
Wildana. dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab Lintas Budaya. Malang:
UIN Malang Press.
0 komentar:
Posting Komentar