Kamis, 28 November 2013

tugas nganalisis khuthbah jahiliy




Khutbah atau khitobah adalah ungkapan atau wacan ayang ditunjukkan untuk orang banyak dan khalayak ramai dalam rangka menjelaskan suatu perkara penting, yang dipergunakan untuk mempengaruhi, memotivasi, mempertahankan pendapat-pendapat yang lain dan mempertahankan mazhabnya (Wargadinata, 2008:164).
Khutbah diorasikan karena muncul suatu sebab yang menyebabkan ia diorasikan, seperti halnya khutbah Hani bin Qabishoh. Khutbah Hani bin Qabishoh termasuk ke dalam golongan khutbah periode jahiliyah.
Khutbah periode jahiliyah memilki beberapa sebab yang menyebabkannya muncul, diantara beberapa sebab kemunculan khutbah periode jahiliyah yakni: a). Banyaknya perang antar kabilah. Banyaknya peperangan yang terjadi mendorong mereka untuk membalas saling membalas dendam, merendahkan musuh, membangkitkan kabilah dari kelengahan mereka akan adanya musuh atau membangun mobilitas untuk menghadapi musuh b). Sebagai pesan untuk mengerjakan pekerjaan yang disenangi dan memiliki sifat yang terpuji, mempertimbangkan akhir segala sesuatu dan lain-lain.
Khutbah orang arab pada zaman jahiliyah ada yang panjang dan ada pula yang pendek, masing-masing disesuaikan dengan keadaan dan tempatnya., tetapi mereka lebih cenderung untuk menggunakan yang pendek karena tabi’at mereka yang senang pada hal yang ringkas karena lebih mudah dihafal dan lebih tersebar di daerah-daerah. Mereka sangat memperhatikan khitabah terutama yang pendek-pendek yang mana terdapat di dalamnya mutsul dan hikam serta nasihat.
Berikut ciri khas khutbah pada zaman jahiliyah :
1.      Kalimat yang ringkas
2.      Lafadz yang jelas.
3.      Maknanya mendalam.
4.      Sajak (setiap kalimat berakhiran dengan huruf yang sama).
5.      Sering dipadukan dengan syair, hikmah dan matsal.
Berikut contoh teks khutbah pada zaman Jahiliyah, yang disampaikan oleh Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani untuk mendorong semangat kaumnya pada pertempuran Dzi Qorin :
"يا معشر بكر , هالك معذور خير من ناج فرور, إن الحذر لا ينخي من القدر, و إن الصبر من أسباب الظفر, المنية ولا الدنية, استقبال الموت خير من استدباره, و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور, يا آل بكرٍ : قاتلوا فما للمنايا من بدٍّ"
Wahai sekalian kaum Bakr, orang yang kalah secara terhormat lebih baik dari orang yang selamat karena lari dari medan juang. Sesungguhnya ketakutan tidak akan melepaskan kalian dari ketentuan Tuhan, dan sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan. Raihlah kematian secara mulia, jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini. Menghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya. Tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung kalian. Wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu kepastian..“.
Latar belakang munculnya khutbah Hani bin Qobishoh Asy-Syaibani yaitu, Ada seorang raja Persia bernama Kisra yang memaksa Hani bin Qobishoh Asa-Syaibani agar menyerahkan harta amanah yang dititipkan oleh Nu’man ibnul Mundzir (salah seorang penguasa Irak) kepadanya. Hani menolak permintaan tersebut demi menjaga amanah yang dititipkan kepadanya sehingga terjadilah perang antara tentara Persia dengan kabilah Bakr yang dipimpin oleh Hani, pertempuran tersebut berlangsung pada sebuah tempat dekat Bashrah di Irak yang bernama Dzi-Qorin, pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Kabilah Bakr, sebelum pertempuran tersebut berlangsung Hani’ membakar semangat para pasukannya dengan khutbah/orasi di atas.
Hani bin Qobishoh memiliki nama asli “Hani bin Qobishoh bin hani bin mas’ud ay-syaibaniy”, beliau seorang pemimpin bani syaiban, beliau termasuk salah seorang yang terkenal karena keberanian, dan kefasihannya di akhir zaman jahiliyah.
Isi khutbah Hani di atas mengandung dorongan kepada kaumnya untuk berperang menghadapi musuh dan disana tampak sifat pemberani dari hani bin Qabishah. Di awal khutbahnya Hani menggunakan nida’ dengan huruf يا untuk mencari perhatian dari para audientnya. Di awal khutbahnya pula  Hani mengabarkan pada kaumnyaهالك معذور خير من ناج فرور  “Bahwa mati di medan pertempuran lebih mulia dari pada melarikan diri medan juang”. Pada kalimat itu Hani tanpa menggunakan huruf taukid karena mereka mengetahui betapa mulianya orang yang mati di medan perang karena membela sesuatu yang baik. Maksud dari kata هالك “orang yang kalah” pada kalimat tersebut yaitu ميّت “mati”, seperti yang terdapat dalam firman Allah *كل شيئ هالك إلا وجهه*“segala sesuatu pasti mati kecuali Allah” (Qs. Al-Qashah:88). Sedangkan kata فرور pada khutbah diatas merupakan shighot mubalaghoh dari kata فرّ  “melarikan diri” seperti yang terdapat dalam firman allah : *يوم يفرُّ المرءُ مِنْ أخيه*  pada hari itu manusia lari dari saudaranya” (Qs. ‘Abasa :34). Kemudian Hani juga menasehatkan إن الحذر لا ينجي من القدر  “bahwa ketakutan kalian terhadap kematian tidak akan menyelamatkan kalian dari ketentuan Allah”, pada kata الحذر yang memiliki arti “berhati-hati” maksudnya yaitu mereka berhati-hati/waspada karena mereka takut akan kematian yang mengancam jiwa mereka dan kematian, akan tetapi walaupun mereka telah berhati-hati terhadap kematian atau bersemangat dalam berperang untuk mendapatkan syahid, takdir allah atas manusia akan kematiannya telah tertulis di lauhul mahfudz. Nasihat hani selanjutnya  و إن الصبر من أسباب الظفر  “sesungguhnya kesabaran adalah jalan kemenangan”, dan kesabaran tidak akan datang kecuali dengan pertolongan Allah ta’ala.  Kata الظفر  “kemenangan” maksudnya kemenangan atas pertolongan dari Allah yang menyelamatkan mereka dari kematian. Pada kedua kalimat إن الحذر لا ينجي من القدر dan و إن الصبر من أسباب الظفر hani menggunakan satu huruf taukid إن sebagai penguat, yang mana itu baik sekali disampaikan kepada kaumnya sebagai kalimat berita yang berkesan meyakinkan dan menghilangkan keraguan pada benak kaumnya. Nasihat selanjutnya المنيَّة ولا الدنيَّة “raihlah kematian secara mulia jangan kalian memilih kehidupan yang hina ini”. المنيَّة  sinonim kata الموت  “kematian” jama’nya المنايا. Sedangkan الدنيَّة “yang hina/rendah”. Hani menyeru kepada untuk meraih kematian bukan dengan cara yang hina / rendahan akan tetapi dengan cara yang mulia yaitu dengan و الطعن في ثغر النحور, أكرم منه في الأعجاز و الظهور استقبال الموت خير من استدبا رهmenghadapi kematian lebih baik daripada lari darinya dan tusukan tombak di leher-leher depan lebih mulia dibanding tikaman dipunggung kalian”. kata الطعن “sekali (tusukan)” maknanya memukul dengan sesuatu yang tajam  seperti tombak yang bisa menembus dengan sekali tusukan. Sedangkan kata ثغر  “tempat yang dikhawatirkan mendapat serangan dari musuh” dan النحور “atas dada” yang biasanya pada binatang merupakan tempat untuk menyembelih. الأعجاز  “orang yang lemah” walaupun ditikam menunjukkan kepada suatu kelemahan untuk menghindari sesuatu, tapi di sini orang yang lemah karena di tikam lebih mulia dari pada seorang wanita. Adapun maksud dari menghadapi kematian itu lebih mulia yaitu ketika menghadapi kematian itu semata-mata karena ingin mencari wajah Allah semata, bukan karena untuk mencari pujian atau yang semisalnya. Nasihat tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang di tusuk/ di tikam oleh lawannya di dada lebih mulia dari pada mereka yang mendapat tikaman di punggung. Sesungguhnya tikaman di dada menunjukkan suatu keberanian adapun tikaman di punggung menunjukkan ketakutan. Itulah nasihat, perumpamaan, dan hikmah yang terkandung dalam khutbah hani.
Pada akhir khutbah Hani يا آل بكر : قاتلوا فما للمنايا من بد  Wahai kaum Bakr….. Berperanglah!!!! Karena kematian adalah suatu kepastian.. Hani bin Qabishoh kembali menyemangati kaumnya untuk ikut berperang dan menyuruh mereka untuk meninggalkan ketakutan akan kematian. Karena kematian merupakan perkara yang sudah pasti adanya dan apabila pada hari itu ada yang tidak mati terbunuh karena bertempur dengan musuh di medan perang maka besok ia mati karena sebab yang lain.
Dari khutbah Hani bin Qobishoh yang telah di jabarkan di atas, terdapat kesesuaian sajak pada setiap kalimatnya seperti penggunaan kata terkahir/dlorbu, penggunaan rima yang jelas dan beraturan dengan akhiran huruf ر  dan هـ di setiap akhir baitnya, sedikit menggunakan pengibaratan, kalimatnya ringkas tanpa bertele-tele dengan makna lafadz yang mendalam, dan isi khutbahnya memiliki kesesuaian ide dengan temanya, serta sebagian isi khutbahnya mengandung nasihat dan hikmah
Daftar Pustaka
Shofwat, Ahmad Dzaki. 1933 M/1302 H. Jamharatu Khutbatul-‘Arabi – fi ‘Ushuuril-‘Arabiyyah. Daarul-‘Ulum.
Wargadinata, Wildana. dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab Lintas Budaya. Malang: UIN Malang Press.

Meng-athaf-kan dengan WASHL (ilmu ma'ani)



WASHL

A.    Pengertian Washl

Washl menurut bahasa artinya menghimpun atau menggabungkan. Sedangkan menurut istilah ilmu balâghah adalah,
الوصل هو عطف جملة على أخرى بالواو
Meng-'athaf-kan suatu kalimat dengan kalimat sebelumnya dengan menggunakan huruf 'athaf.
Washl merupakan kebalikan dari  fashl.

B.     Tempat-tempat Washl

Penggabungan dua kalimat mesti menggunakan huruf 'athaf و', apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a)      Dua jumlah yang memiliki hubungan di dalam hukum I’rob.
Jika suatu kalimat digabungkan dengan kalimat sebelumnya dan kedua kalimat tersebut sama hukumnya,  maka mesti menggunakan huruf 'athaf ' و'.
Contoh:
و حُبُّ العيشِ أَعْبَدَ كلَّ حُرِّ # و علَّمّ ساغِبًا أكْلَ المُرَارِ  (a)
“cinta kehidupan itu memperbudak setiap orang merdeka & mengajarkan orang lapar untk makan tumbuh-tumbuhan yang pahit”

Pada kalimat pertama “أَعْبَدَ كلَّ حُرِّ”, memiliki kedudukan dalam I’rob sebagai khobar dari mubtada’ yang jatuh sebelumnya yaitu “حُبُّ العيشِ”, dan pada kalimat kedua “أكْلَ المُرَارِ عَلََّمَّ ساغِبًا ” juga berkedudukan sebagai khobar.

والله يُحْيِ و يُمِيْتُ (b)
“Allah lah yang menghidupkan dan yang mematikan” - ali-imron :156-
Pada kalimat di atas “يُمِيْتُdan “يُحْيِmemiliki kedudukan sebagai khobar yang berupa khobar syibhu jumlah yang berupa jumlah fi’liyyah dari mubtada’ yang jatuh sebelumnya yaitu “الله.

b)      Kedua jumlah sama-sama kalam khabar atau insyâ’i dan mempunyai keterkaitan yang sempurna.
Contoh :
يُشَمِّرُ لِلُّجِّ عَنْ سَاقِهِ # وَ يَغْمُرُهُ المَوْجُ فِى السَّاحِلِ  (a)
“Ia menyingsingkan pakaiannya dari kedua betisnya untuk mengarungi tengah laut, dan ombak telah menerjangnya ketika masih di tepi laut.”
Pada kalimat di atas kita dapati kedua kalimat يُشَمِّرُ لِلُّجِّ عَنْ سَاقِهِ dan يَغْمُرُهُ المَوْجُ فِى السَّاحِلِ Sama-sama kalam khobar yang bersesuaian maknanya  dan diwashalkan dengan diathafkannya / digabungkannya kalimat kedua kepada kalimat pertama.


إنّ الأبرار لفى نعيمٍ (12) و إنّ الفجّار لفى جحيمٍ (13)  (b)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan. (12) Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka berada dalam neraka.(13)” 

Pada ayat di atas kita dapati kedua kalimat  إنّ الفجّار لفى جحيمٍ dan             إنّ الأبرار لفى نعيمٍ diwashalkan karena sama-sama kalam khobar dengan ciri terdapat adat taukid serta bersesuaian maknanya dan karena tidak ada pula hal-hal yang menyebabkan keduannya difashalkan.

c)      Kedua jumlah yang berbeda kalam khabar dan kalam insya’inya dan harus diwashalkan ketika dikhawatirkan akan terjadi kekeliruan jawaban.
Contoh :
Ada seseorang bertanya kepada kita:
(a)
هل أبلّ أخوكَ من علته ؟
“Apakah saudaramu telah sembuh dari sakitnya?”
(b)

هل لك حاجة أساعدك في قضائها ؟
“Apakah anda punya keperluan yg bisa saya bantu?”

Kita mau menjawab sekaligus mendo'akannya. Maka jawaban kita dan do'a mesti pakai fasilah yaitu "و" agar tidak terjadi salah faham yang dapat menyalahi maksud sebenarnya. Jadi jawabannya,
(a)
لا ,ولطَفَ اللهُ بِهِ
“belum, semoga allah meringankan penderitaannya”

(b)
لا , وبارك اللّه فيك
“Tidak , semoga Allah memberkatimu.

Pada kalimat di atas laa,  sebagai kalam khabra, sedangkan baarakallahufiik dan lathafallahu bih  sebagai kalam insya. Seandainya kedua kalimat kita fashalkan dan kita katakan “laa, baarakallahufiik” dan “laa, lathafallahubih”, maka pendengar anak-anak akan beranggapan bahwa kita mendoakan kejelekan padanya, padahal kita mendoakan kebaikan. Oleh karena itu wajib dipindah dari fashal kepada washal.




C.     KESIMPULAN :
1.      Washl secara leksikal bermakna menghimpun atau menggabungkan. Sedang secara terminologis adalah mengathafkan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya melalui huruf ‘athaf.
2.      Washl digunakan pada tiga tempat, yaitu:
a)      Keadaan i’rab antar kedua kalimat sama;
b)      Kedua jumlah sama-sama khabari atau sama-sama insyâi dan mempunyai keterkaitan yang sempurna.
c)      Kedua jumlah berbeda kalam khabar dan insya’ dan harus diwashalkan karena kekhawatiran timbulnya kesalahfahaman  jika tidak memakai huruf ‘athaf.

sumber >> balaghoh wadhihah ibn jarim