Sabtu, 13 Oktober 2012

ILMU RASM QUR’AN



A.  Pengertian Rasmil Qur’an
        Rasm berasal dari kata رَسَمَ ـ يرسُم ـ رسماً, artinya menggambar atau   melukis. Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau menurut aturan. Jadi  Rasmil Qur’an berarti tulisan atau penulisan Al-Qur’an yang mempunyai metode-metode tertentu.

        Para ulama lebih cenderung menamainya dengan istilah rasmul Mushaf. Ada pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm ‘Usmany dikarenakan istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman, yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu
       
        Ilmu Rasm ialah satu ilmu yang membincangkan cara menulis lafaz-lafaz atau sebutan untuk memelihara penyebutan huruf-hurufnya dari segi lafaz, huruf-huruf asal dan ilmu yang membahaskan kaedah menambah, mengurang, menyambung, memisah dan menggantikan huruf.

B.   PENULISAN AL-QURAN (ILMU RASM)
        Penulisan (Rasm) Al-Quran ini adalah satu sunnah Rasulullah s.a.w. yang diikuti secra ijma' (kesepakatan) oleh seluruh ulam mujtahidin kerana tulisan ini adalah berbentuk tsuqifiyyah dan ia dibuat di bawah pengawasan Nabi Muhammad s.a.w.
        Ali Al-Shobuni membagi kedalam dua masa tentang pengumpulan dan penulisan al-qur’an, yaitu masa rasulullah SAW, dan masa khulafaurrasyidin.

        Telah diketahui bahwa pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1)      Pengumpulan dalam dada dengan cara menghafal
2)      Pengumpulan dalam wujud tulisan, yaitu menulis dan mengukirnya.

        Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi adalah penyusunan surat dan ayat secara sistematis, namun belum terkumpul dalam satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah-pisah.
       
        Dalam proses penulisan di zaman Rasulullah SAW. Yang menulis Al-Quran  yaitu Abu bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban Bin Said, Khalid Bin Walid, dan Muawiyah Bin Abi Sofyan. Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW, memanggil para sekretarisnya untuk menulis wahyu yang baru diterimanya.

        Di zaman khalifah Abu Bakar, Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang yamamah karena banyaknya para qura’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena Umar khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperolehnya kitab mereka.

        Umar mendiskusikan kepada Abu Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkanya. Kemudian Abu Bakar dan Umar mengutus zaid Bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu dizaman Rasulullah. Maka datanglah Zaid Bin Tsabit ke majlis Abu Bakar dan Umar, mendengarkan mereka berdua tentang Al-Qur’an, lalu zaid menyetujuinya. Dan ketika Abu Bakar mendapati tanggapan positif dari Zaid, beliau berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda cerdas, dulu kamu telah menulis wahyu untuk Rasulullah, maka telitilah al-qur’an dan kumpulkanlah”.

        Terus meneruslah Zaid meneliti Al-Quran dengan mengumpulkan dan menuliskannya dan Zaid sendiri orang yang hafal Al-Qur’an, sehingga hafalannya itu sedikit mengurangi bebannya namun demikian zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalannya dalam menetapkan ayat yang terdapat perselsihan kecuali dengan saksi.

        Begitu pula dalam melaksanakan amanah menulis Al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalannya saja atau melalui pendengaranya saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang mendalam dari dua sumber, yakni:
1) sumber hafalan  yang tersimpan dalam dada hati para sahabat,
2) sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.

        Disini berarti, hafalan  dan tulisan harus terpenuhi seperti itulah bentuk kehati-hatian Zaid Bin Tsabit dalam menulis Al-Qur’an. Setelah selesai, Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpan baik-baik hingga wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar Bin Khattab yang kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah wafatnya Umar Bin Khattab, Naskah itu kembali diserahkan kepada Hafshah.

        Di zaman khalifah Utsman ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang terjadi perpecahan dikalangan kaum muslimin tentang perbedaan qira’ah Al-Qur’an yang mengarah kepada saling pengklaiman tentang kafir mengkafirkan. Khalifah Utsman ra, segera meminta mushaf yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Said Ibnu Al-Ash dan Abdurrahman Ibn Hisyam untuk menyalinnya dalam beberapa mushaf. Kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau lisan quraish karena al-quran diturunkan dengan lisan quraish”

        Dalam kerja penyalinan Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh khalifah Utsman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh yang tidak diyakini dibaca kembali di masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal mampu mengakomodasik qira’at yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk ayat Al-Quran. Para penulis  dan para sahabat setuju dengan tulisan yang mereka gunakan ini.

        Para ulama menyebut cara penulisan ini sebagai Rasm  Al-Mushaf. Karena cara penulisan disetujui Utsman sehingga sering pula dibangsakan kepada Utsman, sehingga mereka menyebutnya Rasm Utsman atau Rasm Utsmani. Namun demikian, pengertian rasm ini terbatas pada tulisan mushaf oleh tim empat di zaman Utsman, karena khawatir akan beredarnya dan menimbulkan perselisihan dikalangan ummat islam. Hal ini nanti membuka peluang bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm Utsmani.

        Tulisan Al-Quran dengan menggunakan khat nasakh mulai dicetak buat pertama kalinya di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 Masehi (1113 Hijrah) dan seterusnya dicetak di negara-negara Islam yang lain hingga  hari ini.

C.   TAHAP PENULISAN AL-QURAN
                     Penulisan Al-Quran Rasm Utsmani seperti yang terdapat sekarang ini melalui beberapa tahapan berikut ini :
1.      Belum meletakkan tanda sembarangan.
2.      Pemberian titik dan baris  dilakukan dalam tiga fase :
a.       Pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan.
Saat itu, Muawiyah menugaskan Abu Aswad Ad-dualy untuk meletakkan tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan membaca.

b.      Pada zaman Abdul Malik bin Marwan (65 H),
khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya.
Misalnya :  huruf baa’  (ب)dengan satu titik di bawah, huruf ta  (ت) dengan dua titik di atas, dan tsa dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar. 

c.       Pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu. Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah, tasydid, dan isymam. 

3.      Pemberian tanda baca tajwid.
        Pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad.

4.      Pemberian tanda pada tulisan al-qur’an
        Membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain. Tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri.

D.   PEMBAGIAN  RASM
                  Melihat dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat arab rasm a-lqur’an dibagi menjadi tiga macam:
1)      Rasm Qiyasi      (الرسم القياسى)
2)       Rasm A’rudi     (الرسم العروضي)
3)      Rasm Usman       (الرسم العثمان)
Berikut penjelasan dari masing-masing ungkapan diatas:
1.      Rasm Qiasi / Imla'i
                           Rasmul Imla’i adalah penulisan menurut kelaziman pengucapan / pertuturan.
                                 Ada pendapat yang mengatakan  bahwa Al-Qur’an dengan rasm imla’I  dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi para ulama atau yang memahami rasm Utsmani  tetap wajib mempertahankan keaslian rasm Utsmani.
                           Pendapat diatas diperkuat oleh  Al-Zarqani  dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Utsmani di perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an. Tampaknya, pendapat ini lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat, disatu pihak mereka ingin melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an denganrasm Imla’I untuk memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan membaca  Al-Qur’an dengan rasm Utsmani.
       
                           Namun demikian, kesepakatan para penulis Al-Qur’an dengan rasm Utsmani harus diindahkan dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup besar yang tidak menguasai rasm Utsmani. Bahkan, tidak sedikit jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti tulisan latin. Namun demikian Rasm Utsmani harus dipelihara sebagai  standar rujukan ketika dibutuhkan.

                           Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam karya ilmiah, rasm Utsmani mutlak diharuskan karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak mempunyai alasan untuk mengabaikannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Utsmani. Akan tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain berdasarkan tulisan yang dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Utsman Bin Affan yang penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.

2.       Rasm ‘Arudi 
                           Rasm ‘Arudi  ialah cara menuliskan kalimat-kalimat arab disesuaikan dengan wazan sya’ir-sya’ir arab. Hal itu dilakukan untuk mengetahui “bahr” (nama macam sya’ir).  Dari sya’ir tersebut contohnya seperti :
 وليل كموج البحر ار خي سدو له   sepotong sya’ir Imri’il qais tersebut jika ditulis akan berbentuk:
 وليلن كموج البح ر ار خي سدو لهو  sesuai dengan فعو لن مفا عيلن فعولن مفا عيلن sebagai timbangan  sya’ir yang mempunyai “ bahar tawil.”

3.      Rasm Utsmani
                           Rasmul Utsmani adalah pola penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman dan disetujui oleh Utsman.  

                           Rasm utsmani menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm Utsmani. Ilmu ini didefinisikan sebagai ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara Rasm utsmani dan untuk mengetahui segi perbedaan antara rasm utsmani dan kaidah-kaidah rasm istilahi (rasm yang biasa selalu memperhatikan kecocokan antara tulisan dan ucapan) sebagai berikut contoh antara rasm utsmani dengan rasm istilahi.

ü    Dalam rasm utsmani lafaz (لايستوون) ditulis (لايستون)
¨      Lafaz (الصلاة) ditulis (الصلوة)
¨      Lafaz (الزكاة) ditulis (الزكوة)
¨      Lafaz (الحياة) ditulis (الحيوة)

Ø  Hukum Mengikuti Rasm Utsmani

                           Dalam kitab Al-Muhith Al-Burhaniy, kitab fiqh Al-Hanafiyyah terdapat pernyataan :

إنه ينبغى أن لا يكتب المصحف بغير الرسم العثمانى .
“ sesungguhnya tidak diperkenankan menulis mushaf , kecuali dengan rasm utsmani.”

                           Tulisan al-qur’an bukan tauqifi (tergantung pada petunjuk nabi atau allah) . tulisan yang sudah ditetapkan dan disepakati pada masa itu boleh saja tidak diikuti . Ulama  yang menguatkan pendapat ini ibnu Khaldun dalam muqaddimahnya dan al-qadhi abu bakar dala kitabnya al-intishar. Menurut beliau tidak ditemukan nash maupun mafhum (yang dipahami dari ) nash yang menunjukkan kepada kemestian menulis al-Qur’an dengan satu macam tulisan. Demikian juga Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu. Sunnah Nabi menunjukkan kepada kebilehan menulis Al-Qur’an dengan cara yang mudah

Ø  Perbaikan Rasmul Utsmani

                           Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan pemberian titik.

                           Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan Mushaf syakal, titik dan lain-lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama yang berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.

                           Perbaikan rasm Mushaf itu berjalan secara bertahap. Pada awalnya syakal berupa titik: fathah berupa satu titik diatas awal huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf, tanda dhammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa dua titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf, dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf, dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa. Perhatian untuk menyempurnakan rasm Mushaf, kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).

Ø  Manfaat Ilmu Rasm Utsmani
1)       Mengetahui persambungan sanad mengenai al-qur’an.
2)       Mengetahui penunjukan asal harakat, seperti penulisan kasroh pada huruf yaa’, dhommah pada wawu.
3)       Mengetahui penunjuk sebagian bahasa fashih .
Seperti : pembuangan akhir huruf fi’il mudhori’ mu’tal ghairu jazzim.
4)      Mengetahui penunjukkan pengertian yang tersembunyi.

Ø  Dengan demikian rasm Al-qur’an yang telah dipergunakan pada masa khalifah Utsman mempunyai beberapa nilai diantaranya :
¨       Rasm utsmani memberikan kontribusi yang sangat besar karena rasm utsmani merupakan sejarah dan kebudayaan arab masa lalu
¨       Dengan adanya rasm utsmani maka erat sekali persamaan kita saat ini dengan para sahabat yang hidup pada kurun abad pertama hijriyah
¨       Salah satu syarat bacaan yang diterima qiraat qur’an dari berbagai versi bacaan adalah jika sesuai dengan rasm utsmani
¨       Terjaganya kemurnian Alqur’an

E.   KAIDAH RASM AL-QUR’AN
            Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah, yaitu:
a)      Al-Hadzf  (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf).
      Contohnya : 
·           menghilangkan  huruf  alif  pada  yaa` nida`,seperti ياَ يّها   النّاس menurut kaidah imlak  (يااْيها الناس)
·           membuang huruf yaa’ , huruf yaa’ dibuang dari manqushah munawwan , baik berharakat rafa’ maupun jarr, seperti  باغ   aslnya با غِى
·           membuang huruf wawu , dibuang apabila bergandengan dengan wawu yang lain. Seperti لاَ يَسْتَوْنَ asalnya  لا يَسْتَوُوْنَ
·           membuang huruf lam , dihilangkan apabila dalam keadaan idhghom . seperti  الَّيْلُ  dan الّذى  asal keduanya  اللَّيْلُ   dan  اللَّذى

b)      Al-Ziyadah  ( penambahan),
      Contoh  :
·         menambahkan huruf alif setelah  wawu pada akhir isim jama’
                                 seperti ungkapan  اُولُوا الاَلباب dan   مُلا قُوارَبِّهم
·           menambah  alif setelah  hamzah  marsumah  wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan wawu) (ؤ ).
seperti :     تَا الله تَفْتَؤُا   asalnya تَا الله تَفتَأُ
·           Penambahan huruf “yaa’ pada kata-kata  مِنْ تِلْقَائِ نَفْسِى    dan    حِجَابٍمن ورائ
·           Penambahan huruf “wawu”, pada kata-kata tertentu   اولات  اولاء , الئك  , اولوا dan ساوريكم.

c)      Al-Hamzah,
Apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang sebelumnya. Seperti : ائْذنْ kecuali pada beberapa keadaan.
·      Al-Hamzah al-Sakinah yang aslinya ditulis di atas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya, baik di awal, tengah, maupun akhir, seperti  هيء ,(جئنك),(اقرأ)    kecuali dalam kata-kata tertentu, seperti (فادارءثم) dan (ورءيا)   maka kedua kata tersebut hurufnya dihilangkan dan hamzah ditulis menyendiri.
·      Al-Hamzah al-Mutaharrikah apabila berada di awal kata atau digabungkan dengan huruf tambahan, hamzah tersebut ditulis  dengan alif secara pasti (mutlak, baik dalam keadaan fatah, dammah maupun kasrah, seperti kata (اولوا).(اذا),(أيوب),(فيأئ),(سأصرف)kecuali di tempat-tempat tertentu seperti قل أئنكم لثكفرون  di dalam surah fushilat.

d)     Badal (penggantian),
      Contoh : 
·      Alif di tulis dengan wawu sebagai penghormatan pada kata :  الصّلوةَ , الزّكوةّ
·      Alif di tulis dengan yaa’ pada kata :   أنّى , على , إلى   yang berarti كيف , متى , بلى, لدى
·      Alif di gantindengan huruf nun taukid khafifah pada kata إذًا  pada ungkapan (وكأين من نبي), maka ditulis dengan nun’.
·      Ha’ at-Ta’nis ( ة ) ditulis dengan huruf ta (ث) .seperti kata رحمة    menjadi  رحمت .

e)      Washal (penyambungan) dan Fashl (pemisahan)
Washl : metode penyambungan kata yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya huruf tertentu.
Contoh :
·         (من ) min bersambng dengan maa ( ما )  penulisannya di sambung dan huruf nun pada mim tidak ditulis.
Seperti :   ممّاَ   kecuali pada من ما ملكت أيْما نكم
·         ( إِنْ )  in disusul dengan maa ( ما )  ditulis bersambung dengan meniadakan nun sehingga imma  ( إمَّا ) , kecuali pada  تو عدُون  إنْ مَا
·         ( مِن ) min disusul   dengan man (   مَنْ )  ditulis bersambung dengan menghilangkan huruf nun sehingga menjadi  mimman  ( ممَّنْ )  bukan   مِنْ مَنْ

f)       Kata yang dapat dibaca dua bunyi
         Suatu kata yang boleh dibaca dengan dua cara tapi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya. Tetapi yang kita maksudkan bukan bacaan yang janggal (syaddzah).
         Di dalam mushaf `Utsmani, penulisan kata semacam itu di tulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki yaumiddin” . Ayat di atas boleh di baca dengan menetapkan alif (yakni di baca dua alif), boleh juga hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).


                     Kebanyakan mashaf ditulis mengikut kaedah-kaedah ini. Oleh itu, penulisan mushaf Utsmani ini diakui penulisan yang bersifat tauqifi (penetapan, penentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka penggunaan tulisan Imlai atau Qiasi tidaklah diharuskan.
F.    KESIMPULAN
1)      Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik, terutama dalam membaca Alquran.dia/sya/berbagai sumber
2)       Dengan berpedoman kepada keduanya penulisan Mushhaf Alquran yang dihasilkan akan lebih ilmiah, dan lebih dapat  dipertanggungjawabkan kebenarannya di negeri mana pun dan sampai kapan pun. Wallahu a’lam.
3)      Rasm Al-qur’an adalah tata cara penulisan Al-qur’an, yang biasa disebut juga dengan rasm Utsmani . Status hokum Rasm Al-qur’an masih diperselisihkan dalam tiga hal: apakah tauqifi, bukan tauqifi atau ishtilahi.
Rasm Utsmani memiliki fungsi yang sangat besar dalam menyatukan umat Islam.
Pada awalnya rasm Utsmani tidak memiliki tanda baca tapi kemudian di tambahi dan disempurnakan

G.  DAFTAR PUSTAKA
ü   As-Shalih, Subhi. 1988. Mabahis Fi Ulum Al-Quran. Beirut: Darul Ilmi.
ü  Al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu Ilmu Al-Qur’an. Tarj. Mudzakkir AS. Bandung: Pustaka Litera AntarNusa.hal.215.
ü  Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy



0 komentar: