Rabu, 17 Oktober 2012

'ilmu qiroah..


Ilmu qira’at adalah termasuk bagian dari ‘Ulûm al-Qur’ân atau ilmu-ilmu tentang al-Qur’an yang membahas tentang kaedah membaca al-Qur-an.
Berdasarkan pengertian bahasa, qiro’at merupakan kata kajian (masdar) dari kata kerja “qara’a” yang berarti membaca. Sedangkan berdasarkan pengertian terminology, maka ada beberapa definisi, sebagai berikut :[1][1]
1. Menurut Ibn Al-Jazari
Qira’at merupakan ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapan kata-kata al-quran dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
2. Menurut Az-Zarkasyi
Qiraat adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-quran, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti taklif (meringankan), tasqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
3. Menurut  Ash-Sabuni
Qiraat adalah suatu mazhab cara pelafalan al-quran yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulallah.
Pada permulaan abad pertama Hijrah di masa tabi’in, muncullah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qira’at secara sempurna dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya. Para ahli qira’at tersebut antara lain adalah Nâfi’ bin ‘Abdurrahman, ‘Abdullah bin Katsîr, Hamzah, al-Kisâ’î, dan lain-lain.
Perkembangan dan Pembukuan Ilmu Qira’at
Qira’at mulai di pakai setelah Nabi Muhammad di Madinah, dimana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai qabilah yang bermacam-macam dan dialek yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan di atas, pembahasan tentang masa kodifikasi ilmu qira’at berarti membahas sejarah perjalanan ilmu qira’at.
 Perjalanan sejarah ilmu qira’at terbagi atas enam fase, yaitu:

Fase Pertama: masa pertumbuhan
Fase pertama ini terjadi pada masa Nabi, dimana Nabi mengajarkan al-Qur’an kepada sahabatnya dengan bacaan yang berbeda sesuai dengan apa yang mudah bagi mereka. Dengan demikian, para sahabat mendapatkan bacaan al-Qur’an dari Nabi dengan bacaan yang beragam. Seringkali dengan ragam bacaan yang mereka terima, menimbulkan perselisihan diantara para sahabat, lalu Nabi menyelesaikan perbedaan itu dengan mengatakan bahwa al-Qur’an di turunkan dengan berbagai macam versi bacaan.

Fase kedua; Fase penyebaran ilmu Qira’at
Fase kedua ini terjadi setelah Nabi wafat, yaitu pada masa sahabat dan tabi’in. Sebagaimana di ketahui para sahabat kebanyakan bermukim di Mekah atau Madinah. Maka setelah Rasulullah wafat sesuai dengan dinamika da’wah para sahabat terpanggil untuk menyebarkan islam ke berbagai pelosok negeri.
Fase ketiga: Fase kemunculan Ahli Qira’at
Fase ketiga ini berlangsung pada sekitar akhir abad pertama sampai awal abad kedua Hijriyah. Yaitu setelah pengajaran qira’at berlangsung sedemikian lama, maka muncullah ulama ahli qira’at dari kalangan tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Seperti di Basrah muncul ulama terkenal Yahya bin Ya’mar (w. 90 H) yang kemudian di kenal sebagai orang pertama yang menulis qira’at.
Fase Keempat: Fase penulisan ilmu Qira’at
Fase ini berlangsung bersamaan dengan masa penulisan berbagai macam ilmu keislaman, seperti ilmu hadis, tafsir, tarikh dan lain sebagainya, yaitu sekitar permulaan abad kedua Hijriyah. Maka pada fase ini mulai muncul karya-karya dalam bidang qira’at.

Sebagian ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang pertama kali menuliskan buku tentang ilmu qiraat adalah Yahyâ bin Ya’mar, ahli qira’at dari Basrah. Kemudian di susul oleh beberapa imam qurrâ’, diantaranya yaitu :

1. ‘Abdullah bin ‘Âmir (w. 118 H) dari Syam. Kitabnya Ikhtilâfât Masâhif al-Syâm wa al-Hijâz wa al-‘Irâq.
2. Abân bin Taghlib (w. 141 H) dari Kufah. Kitabnya Ma’ânî al-Qur’an dan kitab Al Qirâ’ât.
3. Muqâtil bin Sulaimân (w. 150 H)
4. Abû ‘Amr bin al-‘Alâ’ (w. 156 H)
5. Hamzah bin Habîb al-Ziyât (w. 156 H)
6. Zâidah bin Qadâmah al-Tsaqafi (w. 161 H)
7. Hârûn bin Mûsâ al-A’ûr (w. 170 H)
8. ‘Abdul Hamîd bin ‘Abdul Majîd al-Akhfasy al-Kabîr (w. 177 H)
9. ‘Alî bin Hamzah al-Kisâ’i (w. 189 H)
10. Ya’qûb bin Ishâq al-Hadramî (w. 205 H)
11. Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm (w. 224 H). Kitabnya Al-Qirâ’ât.

Menurut Ibn al-Jazari, imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm. Ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qira’at, termasuk di dalamnya imam yang tujuh (imam-imam Qira’at Sab’ah).
Fase kelima: Fase Pembakuan Qira’at Sab’ah
Pada peringkat awal pembukuan ilmu qira’ at yang dirintis oleh Abû ‘Ubaid al-Qâsim bin Sallâm dan para imam tersebut di atas, istilah qira’at tujuh belum dikenal. Pada masa ini, mereka hanya mengangkat sejumlah qira’at yang banyak ke dalam karangan-karangannya. Barulah pada permulaan abad kedua Hijrah orang mulai tertarik kepada qira’at atau bacaan beberapa imam yang mereka kenali. Umpamanya di Basrah orang tertarik pada qira’at Abû ‘Amr (w. 154 H) dan Ya’qûb (w. 205 H), di Kufah orang tertarik pada bacaan Hamzah ( w. 156 H) dan ‘Âsim (w. 127 H), di Syam orang memilih qira’at Ibn ‘Âmir (w. 118 H), di Mekah mereka memilih qira’at Ibn Katsîr (w. 120 H), dan di Madinah memilih qira’at Nâfi’ (w. 199 H).
Di penghujung abad ketiga Hijrah, barulah Ibn Mujâhid (w. 325 H) mencetuskan istilah Qira’at Sab’ah atau Qira’at Tujuh, yaitu tujuh macam qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh imam qira’at tersebut di atas dengan menetapkan nama al-Kisâ’i (w. 189 H), salah seorang ahli qira’at dari Kufah, dan membuang nama Ya’qûb dari kelompok qari’ tersebut. Maka mulai saat itulah awal mulanya muncul sebutan Qira’at Sab’ah.
Fase keenam: Fase Pengukuhan Qira’at Sab’ah
Fase ini berlangsung setelah kemunculan kitab Al-Sab’ah karya Ibn Mujahid. Fase ini menjadi fase yang berpenting dalam sejarah penulisan ilmu qira’at. Karena sebagaimana di ketahui bahwa penulisan ilmu qira’at pada masa sebelum Ibn Mujahid bisa dikatakan tidak selektif tapi lebih kepada penulisan qira’at yang sampai kepada mereka dari guru-guru mereka. Karena itu ulama yang pro terhadap gagasan Ibn Mujahid banyak yang memburu riwayatnya imam tujuh tersebut dari berbagai macam jalur periwayatan. Hasil dari perburuan itu tercantum dalam kitab-kitab qira’at sab’ah yang datang setelahnya. Istilah Qira’at Sab’ah menjadi semakin kokoh dan masyhur dengan munculnya kitab At Taisir karya Abû ‘Amr al-Dâni (w. 444 H). Yang menonjol dari kitab ini adalah penyederhanaan rawi dari setiap imam dengan hanya dua perawi, padahal sebagaimana di ketahui bahwa perawi setiap imam biasanya berjumlah puluhan bahkan ratusan.

Periwayat-periwayat imam tujuh yang masyhur ialah:
1. Qâlûn (w. 220 H) dan Warsy (w. 197 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Nâfi’
2. Qumbul (w. 291 H) dan Al-Bazzi (w. 250 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn Katsîr
3. Al-Dûri (w. 246 H) dan Al-Sûsi (w. 261 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Abû ‘Amr
4. Hisyâm (w. 245 H) dan Ibn Dzakwân (w. 242 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Ibn ‘Âmir
5. Syu’bah (w. 193 H) dan Hafs (w. 180 H), meriwayatkan qira’at dari Imam ‘Âsim
6. Khalaf (w. 229 H) dan Khallâd (w. 220 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Hamzah
7. Abû al-Hârits (w. 240 H) dan Dûri al-Kisâ’i (w. 246 H), meriwayatkan qira’at dari Imam Al-Kisâ’i.
Qira’at Sab’ah bertambah kokoh setelah kemunculan imam Al-Syatibî (w. 591 H) yang telah berhasil menulis materi Qira’at Sab’ah yang terdapat dalam kitab At-Taisir menjadi untaian syair yang sangat indah dan menggugah. Syair itu berjumlah 1171 bait. Kumpulan syair-syair itu di namakan “Hirz al-Amâni wa Wajh al-Tahâni” yang kemudian lebih di kenal dengan sebutan “Syâtibiyyah”. Syair-syair Syâtibiyyah ini telah menggugah banyak ahli qira’at untuk mensyarahinya. Jumlah kitab yang mensyarahi syair Syâtibiyyah ini lebih dari lima puluh kitab.
Macam-macam Qira’at, Hukum dan Kaidahnya
Ibn Mujâhid sebagai tokoh negara serta salah seorang pakar keagamaan memiliki pengaruh besar atas berlangsungnya keragaman bacaan. Ibn Mujâhid mencoba menetapkan standarisasi baru disahkannya sebuah qira’at. Kemudian lahirlah tujuh qira’at yang terbagi menjadi tujuh imam plus dua perawi di antara satu imam. Satu klaim bahwa bacaan sah adalah ajaran dari riwayat yang bersumber dari guru dengan persetujuan ulama-ulama lain serta memiliki kredibilitas (tsiqah) diakui.
 Konsep ini pada dasarnya menguatkan tiga syarat utama atau kaidah qira’at yang sahîh, yaitu :
1. Qira’at itu harus sahîh sanadnya, yaitu bersumber dari rawi-rawi yang tsiqah dengan mata rantai sampai kepada Rasulullah saw.
2. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah Bahasa Arab. Syarat ini tidak berlaku sepenuhnya sebab ada sebagian bacaan yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun karena sanadnya sahîh dan mutawâtir maka qira’atnya dianggap sahîh.
3. Qira’at sesuai dengan salah satu Mushaf Utsmâni yang dikirimkan ke daerah-daerah, karena ia mencakupi Sab’atu Ahruf.
Macam-macam Qira’aat
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi enam macam:
1. Mutawâtir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah saw.
2. Masyhûr, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawâtir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasam Utsmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at dan tidak terdapat cacat.
3. Âhâd, yaitu qira’at yang sahîh sanadnya tetapi tidak sesuai atau menyalahi rasam Utsmâni, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya dua qira’at yang telah disebutkan. Qira’at semacam ini tidak termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.
4. Syâdz, yaitu qira’at yang tidak sahîh sanadnya, seperti qira’at malaka yaumaddîn (al-Fâtihah ayat 4), dengan bentuk fi’il mâdi dan menasabkan yauma.
5. Mawdû’, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya. Contohnya qira’at imam Muhammad bin Ja’far al-Khuza’i dalam membaca firman Allah swt. dalam surat Fâtir ayat 28:
Dia membaca dengan dengan merafa’kan lafaz Allah dan menasabkan lafaz al-‘Ulamâ’.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran, seperti qira’at Ibn ‘Abbâs.
Kalimat adalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.

Sebab-Sebab Perbedaan Qira’at

Diantara sebab-sebab munculnya beberapa qiraat yang berbeda adalah sebagai berikut :[2][2]
1. Perbadaan qiraat nabi. Artinya dalam mengerjakan al-quran kepada para sahabatnya, nabi memakai beberapa versi qiraat.
2. Pengakuan dari nabi terhadap berbagai qiraat yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek mereka dalam mengucapkan kata-kata dalam alquran.
3. Adanya riwayat dari para sahabat nabi menyangkut berbagai versi qiraat yang ada.
4. Adanya lahjjah kebahasaaan di kalangan bangsa arab pada masa turunya al-quran.





0 komentar: