A.
Pengertian Rasmil
Qur’an
Rasm berasal dari kata رَسَمَ ـ يرسُم ـ رسماً, artinya menggambar atau melukis.
Kata rasm ini juga biasa diartikan sebagai sesuatu yang resmi atau
menurut aturan. Jadi Rasmil Qur’an berarti tulisan atau
penulisan Al-Qur’an yang mempunyai metode-metode tertentu.
Para ulama lebih cenderung menamainya
dengan istilah rasmul Mushaf. Ada pula yang menyebut rasm al-Qur’an dengan rasm
‘Usmany dikarenakan istilah ini lahir bersamaan dengan lahirnya mushaf ‘Utsman,
yaitu mushaf yang ditulis oleh panitia empatyang terdiri dari Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abdurrahman bin al-Harits yang
ditulis dengan kaidah-kaidah tertentu
Ilmu Rasm ialah satu ilmu yang membincangkan cara menulis
lafaz-lafaz atau sebutan untuk memelihara penyebutan huruf-hurufnya dari segi
lafaz, huruf-huruf asal dan ilmu yang membahaskan kaedah menambah, mengurang,
menyambung, memisah dan menggantikan huruf.
B.
PENULISAN AL-QURAN (ILMU RASM)
Penulisan
(Rasm) Al-Quran ini adalah satu sunnah Rasulullah s.a.w. yang diikuti secra
ijma' (kesepakatan) oleh seluruh ulam mujtahidin kerana tulisan ini adalah
berbentuk tsuqifiyyah dan ia dibuat di bawah pengawasan Nabi Muhammad s.a.w.
Ali Al-Shobuni membagi kedalam
dua masa tentang pengumpulan dan penulisan al-qur’an, yaitu masa rasulullah
SAW, dan masa khulafaurrasyidin.
Telah diketahui bahwa
pengumpulan al-qur’an pada masa Rasulullah SAW, dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
1) Pengumpulan
dalam dada dengan cara menghafal
2) Pengumpulan
dalam wujud tulisan, yaitu menulis dan mengukirnya.
Penulisan Al-Qur’an
pada masa Nabi adalah penyusunan surat dan ayat secara sistematis, namun belum
terkumpul dalam satu mushaf melainkan dalam keadaan terpisah-pisah.
Dalam proses penulisan
di zaman Rasulullah SAW. Yang menulis Al-Quran yaitu Abu bakar, Umar,
Utsman, Ali, Abban Bin Said, Khalid Bin Walid, dan Muawiyah Bin Abi Sofyan.
Setiap kali menerima wahyu Rasulullah SAW, memanggil para sekretarisnya untuk
menulis wahyu yang baru diterimanya.
Di zaman khalifah Abu Bakar,
Allah SWT menggerakkan kaum muslimin terhadap kebaikan ini pada waktu perang
yamamah karena banyaknya para qura’ yang terbunuh, maka Umar Bin Khattab dengan
segera pergi ketempat Abu Bakar yang saat itu menjabat sebagai khalifah. Karena
Umar khawatir meninggalnya para qura’ di tempat-tempat lain sebagaimana perang
yamamah, sehingga kaum muslimin kehilangan pedoman agama Islam dan sulit akan memperolehnya
kitab mereka.
Umar mendiskusikan kepada Abu
Bakar tentang rencana pengumpulan al-qur’an, setelah umar menguraikan
sebab-sebab yang melatar belakanginya, Abu Bakar diam mempertimbangkanya.
Kemudian Abu Bakar dan Umar mengutus zaid Bin Tsabit, salah seorang penulis
wahyu dizaman Rasulullah. Maka datanglah Zaid Bin Tsabit ke majlis Abu Bakar
dan Umar, mendengarkan mereka berdua tentang Al-Qur’an, lalu zaid
menyetujuinya. Dan ketika Abu Bakar mendapati tanggapan positif dari Zaid,
beliau berkata: “Sesungguhnya kamu pemuda cerdas, dulu kamu telah menulis wahyu
untuk Rasulullah, maka telitilah al-qur’an dan kumpulkanlah”.
Terus meneruslah Zaid meneliti
Al-Quran dengan mengumpulkan dan menuliskannya dan Zaid sendiri orang yang
hafal Al-Qur’an, sehingga hafalannya itu sedikit mengurangi bebannya namun
demikian zaid tidaklah mencukupkan dengan hafalannya dalam menetapkan ayat yang
terdapat perselsihan kecuali dengan saksi.
Begitu pula dalam melaksanakan
amanah menulis Al-Qur’an tidak mengandalkan hanya hafalannya saja atau melalui
pendengaranya saja akan tetapi bertitik tolak dari pada penyelidikan yang
mendalam dari dua sumber, yakni:
1) sumber hafalan yang tersimpan dalam dada hati
para sahabat,
2) sumber tulisan yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW.
Disini berarti, hafalan
dan tulisan harus terpenuhi seperti itulah bentuk kehati-hatian Zaid Bin Tsabit
dalam menulis Al-Qur’an. Setelah selesai, Al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis
kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, dan beliau menyimpan baik-baik hingga
wafatnya. Sepeninggal Abu Bakar, ia digantikan oleh Umar Bin Khattab yang
kemudian disimpannya naskah itu. Dan setelah wafatnya Umar Bin Khattab, Naskah
itu kembali diserahkan kepada Hafshah.
Di zaman khalifah Utsman
ketika mendengar laporan Hudzaifah tentang terjadi perpecahan dikalangan kaum
muslimin tentang perbedaan qira’ah Al-Qur’an yang mengarah kepada saling
pengklaiman tentang kafir mengkafirkan. Khalifah Utsman ra, segera meminta
mushaf yang disimpan di rumah Hafsah, lalu menugaskan Zaid Bin Tsabit, Abdullah
Bin Zubair, Said Ibnu Al-Ash dan Abdurrahman Ibn Hisyam untuk menyalinnya dalam
beberapa mushaf. Kata Utsman, ‘jika kalian bertiga dan Zaid Bin Tsabit
berselisih pendapat tentang hal Al-Qur’an, maka tulislah dengan ucapan atau
lisan quraish karena al-quran diturunkan dengan lisan quraish”
Dalam kerja penyalinan
Al-Qur’an ini mereka mengikuti ketentuan-ketentuan yang disetujui oleh khalifah
Utsman. Ketentuan itu adalah bahwa mereka menyalin ayat berdasarkan riwayat
mutawatir, mengabaikan ayat-ayat mansukh yang tidak diyakini dibaca kembali di
masa hidup Nabi SAW, tulisannya secara maksimal mampu mengakomodasik qira’at
yang berbeda-beda, dan menghilangkan semua tulisan sahabat yang tidak termasuk
ayat Al-Quran. Para penulis dan para sahabat setuju dengan tulisan yang
mereka gunakan ini.
Para ulama menyebut cara
penulisan ini sebagai Rasm Al-Mushaf. Karena cara
penulisan disetujui Utsman sehingga sering pula dibangsakan kepada Utsman,
sehingga mereka menyebutnya Rasm Utsman atau Rasm Utsmani.
Namun demikian, pengertian rasm ini terbatas pada tulisan
mushaf oleh tim empat di zaman Utsman, karena khawatir akan beredarnya dan
menimbulkan perselisihan dikalangan ummat islam. Hal ini nanti membuka peluang
bagi ulama kemudian untuk berbeda pendapat tentang kewajiban mengikuti rasm Utsmani.
Tulisan
Al-Quran dengan menggunakan khat nasakh mulai dicetak buat pertama kalinya di
Hamburg, Jerman pada tahun 1694 Masehi (1113 Hijrah) dan seterusnya dicetak di
negara-negara Islam yang lain hingga hari ini.
C.
TAHAP PENULISAN AL-QURAN
Penulisan Al-Quran Rasm Utsmani seperti yang terdapat sekarang ini
melalui beberapa tahapan berikut ini :
1.
Belum
meletakkan tanda sembarangan.
2.
Pemberian
titik dan baris dilakukan dalam tiga
fase :
a.
Pada
zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan.
Saat itu, Muawiyah menugaskan Abu Aswad Ad-dualy untuk meletakkan
tanda baca (i’rab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari
kesalahan membaca.
b.
Pada
zaman Abdul Malik bin Marwan (65 H),
khalifah kelima Dinasti Umayyah itu menugaskan salah seorang
gubernur pada masa itu, Al Hajjaj bin Yusuf, untuk memberikan titik sebagai
pembeda antara satu huruf dengan lainnya.
Misalnya : huruf baa’ (ب)dengan satu
titik di bawah, huruf ta (ت) dengan dua titik di atas, dan tsa
dengan tiga titik di atas. Pada masa itu, Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr
bin ‘Ashim dan Hay bin Ya’mar.
c.
Pada
masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
Diberikan tanda baris berupa dhamah, fathah, kasrah, dan sukun
untuk memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Alquran. Pemberian
tanda baris ini mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil
bin Ahmad Al Farahidy, seorang ensiklopedi bahasa Arab terkemuka kala itu.
Menurut sebuah riwayat, Khalil bin Ahmad juga yang memberikan tanda hamzah,
tasydid, dan isymam.
3.
Pemberian
tanda baca tajwid.
Pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad
untuk semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Alquran, khususnya
bagi orang selain Arab, dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa
isymam, rum, dan mad.
4.
Pemberian
tanda pada tulisan al-qur’an
Membuat tanda lingkaran bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan
nomor ayat, tanda-tanda wakaf (berhenti membaca), ibtida (memulai membaca),
menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri atas nama, tempat
turun, jumlah ayat, dan jumlah ‘ain. Tajzi’, yaitu tanda pemisah antara satu
Juz dan yang lainnya, berupa kata ‘juz’ dan diikuti dengan penomorannya dan
tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh,
setengah juz, dan juz itu sendiri.
D.
PEMBAGIAN RASM
Melihat
dari spesifikasi cara penulisan kalimat-kalimat arab rasm a-lqur’an dibagi
menjadi tiga macam:
1)
Rasm Qiyasi (الرسم القياسى)
2)
Rasm A’rudi (الرسم العروضي)
3)
Rasm Usman (الرسم العثمان)
Berikut penjelasan dari masing-masing ungkapan diatas:
1.
Rasm Qiasi / Imla'i
Rasmul Imla’i adalah penulisan
menurut kelaziman pengucapan / pertuturan.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Al-Qur’an dengan rasm
imla’I dapat dibenarkan, tetapi khusus bagi orang awam. Bagi
para ulama atau yang memahami rasm Utsmani tetap wajib
mempertahankan keaslian rasm Utsmani.
Pendapat diatas diperkuat oleh Al-Zarqani
dengan mengatakan bahwa rasm Imla’I diperlukan untuk
menghindarkan ummat dari kesalahan membaca Al-Qur’an, sedangkan rasm Utsmani di
perlukan untuk memelihara keaslian mushaf Al-Qur’an. Tampaknya, pendapat ini
lebih moderat dan lebih sesuai dengan kondisi ummat, disatu pihak mereka ingin
melestarikan rasm Utsmani, sementara dipihak lain
mereka menghendaki dilakukannya penulisan Al-Qur’an denganrasm Imla’I untuk
memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang kemungkinan mendapat kesulitan
membaca Al-Qur’an dengan rasm Utsmani.
Namun demikian, kesepakatan para penulis
Al-Qur’an dengan rasm Utsmani harus diindahkan
dalam pengertian menjadikannya sebagai rujukan yang keberadaannya tidak boleh
hilang dari masyarakat Islam. Sementara jumlah ummat Islam dewasa ini cukup
besar yang tidak menguasai rasm Utsmani. Bahkan, tidak sedikit
jumlah ummat Islam untuk mampu membaca aksara arab. Mereka membutuhkan tulisan
lain untuk membantu mereka agar dapat membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti
tulisan latin. Namun demikian Rasm Utsmani harus
dipelihara sebagai standar rujukan ketika dibutuhkan.
Demikian juga tulisan ayat-ayat Al-Qur’an
dalam karya ilmiah, rasm Utsmani mutlak diharuskan
karena statusnya sudah masuk dalam kategori rujukan dan penulisannya tidak
mempunyai alasan untuk mengabaikannya. Dari sini kita dapat memahami bahwa
menjaga keotentikan Al-Qur’an tetap merujuk kepada penulisan mushaf Utsmani. Akan
tetapi segi pemahaman membaca Al-Qur’an bisa mengunakan penulisan yang lain
berdasarkan tulisan yang dalam proses penulisan Al-Qur’an mulai dari Zaman
Rasulullah, zaman khalifah Abu Bakar sampai khalifah Utsman Bin Affan yang
penulisnya tidak pernah lepas dari Zaid Bin Tsabit yang merupakan
sekretaris Rasulullah SAW. Secara historis ini membuktikan bahwa Allah SWT
tetap menjaga dan memelihara keotentikan Al-Qur’an.
2.
Rasm ‘Arudi
Rasm ‘Arudi
ialah cara menuliskan kalimat-kalimat arab disesuaikan dengan wazan
sya’ir-sya’ir arab. Hal itu dilakukan untuk mengetahui “bahr” (nama
macam sya’ir). Dari sya’ir tersebut
contohnya seperti :
وليل كموج البحر ار خي سدو له
sepotong sya’ir Imri’il qais tersebut jika ditulis akan berbentuk:
وليلن كموج البح ر ار خي سدو لهو sesuai dengan فعو لن مفا عيلن فعولن مفا عيلن sebagai
timbangan sya’ir yang mempunyai “ bahar tawil.”
3.
Rasm Utsmani
Rasmul Utsmani adalah pola
penulisan Al-Qur’an pada masa Utsman dan disetujui oleh Utsman.
Rasm utsmani
menjadi salah satu cabang ilmu pengetahuan yang bernama Ilmu Rasm Utsmani.
Ilmu ini didefinisikan sebagai ilmu untuk mengetahui segi-segi perbedaan antara
Rasm utsmani dan untuk mengetahui segi perbedaan antara rasm utsmani dan
kaidah-kaidah rasm istilahi (rasm yang biasa selalu memperhatikan kecocokan
antara tulisan dan ucapan) sebagai berikut contoh antara rasm utsmani dengan
rasm istilahi.
ü Dalam rasm utsmani lafaz (لايستوون)
ditulis (لايستون)
¨
Lafaz (الصلاة) ditulis (الصلوة)
¨
Lafaz (الزكاة) ditulis (الزكوة)
¨
Lafaz (الحياة) ditulis (الحيوة)
Ø
Hukum Mengikuti Rasm
Utsmani
Dalam kitab
Al-Muhith Al-Burhaniy, kitab fiqh Al-Hanafiyyah terdapat pernyataan :
إنه ينبغى أن لا يكتب المصحف بغير الرسم العثمانى .
“ sesungguhnya tidak diperkenankan menulis mushaf , kecuali
dengan rasm utsmani.”
Tulisan
al-qur’an bukan tauqifi (tergantung pada petunjuk nabi atau allah) . tulisan
yang sudah ditetapkan dan disepakati pada masa itu boleh saja tidak diikuti . Ulama yang menguatkan pendapat ini ibnu Khaldun
dalam muqaddimahnya dan al-qadhi abu bakar dala kitabnya al-intishar. Menurut
beliau tidak ditemukan nash maupun mafhum (yang dipahami dari ) nash yang menunjukkan
kepada kemestian menulis al-Qur’an dengan satu macam tulisan. Demikian juga Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola
penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani :
“Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak
memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya
dengan pola-pola tertentu. Sunnah Nabi menunjukkan
kepada kebilehan menulis Al-Qur’an dengan cara yang mudah
Ø Perbaikan Rasmul Utsmani
Mushaf Utsmani tidak memakai tanda baca titik dan
syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab
yang masih murni, sehingga mereka tidak memerlukan syakal dengan harakat dan
pemberian titik.
Ketika bahasa arab mulai mengalami kerusakan
karena banyaknya percampuran (dengan bahasa non arab), maka para penguasa
merasa pentingnya ada perbaikan Mushaf syakal, titik dan lain-lain yang dapat
membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama yang berpendapat bahwa orang
pertama yang melakukan hal itu adalah Abu Aswad ad-Du’ali, peletak pertama
dasar-dasar kaidah bahasa arab, atas permintaan Ali bin Abi Talib.
Perbaikan rasm Mushaf itu
berjalan secara bertahap. Pada awalnya syakal berupa titik: fathah berupa satu
titik diatas awal huruf, tanda kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf,
tanda dhammah berupa satu titik diatas akhir huruf, dan tanda sukun berupa dua
titik. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf,
dan itulah yang dilakukan oleh al-Khalil. Perubahan itu ialah fathah adalah
dengan tanda sempang diatas huruf, kasrah berupa tanda sempang dibawah huruf,
dhammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa.
Perhatian untuk menyempurnakan rasm Mushaf, kini telah mencapai
puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (al-khattul ‘arabiy).
Ø Manfaat Ilmu Rasm Utsmani
1)
Mengetahui
persambungan sanad mengenai al-qur’an.
2)
Mengetahui penunjukan asal harakat, seperti
penulisan kasroh pada huruf yaa’, dhommah pada wawu.
3)
Mengetahui penunjuk sebagian bahasa fashih .
Seperti : pembuangan akhir huruf fi’il mudhori’ mu’tal ghairu
jazzim.
4)
Mengetahui
penunjukkan pengertian yang tersembunyi.
Ø Dengan demikian rasm Al-qur’an yang telah dipergunakan
pada masa khalifah Utsman mempunyai beberapa nilai diantaranya :
¨ Rasm utsmani memberikan kontribusi yang sangat besar karena rasm utsmani
merupakan sejarah dan kebudayaan arab masa lalu
¨ Dengan adanya rasm utsmani maka erat sekali persamaan kita saat ini dengan
para sahabat yang hidup pada kurun abad pertama hijriyah
¨ Salah satu syarat bacaan yang diterima qiraat qur’an dari berbagai versi
bacaan adalah jika sesuai dengan rasm utsmani
¨ Terjaganya kemurnian Alqur’an
E.
KAIDAH RASM AL-QUR’AN
Para Ulama meringkas kaidah-kaidah itu menjadi 6 istilah, yaitu:
a) Al-Hadzf (membuang, menghilangkan, atau meniadakan huruf).
Contohnya
:
·
menghilangkan huruf
alif pada yaa` nida`,seperti
ياَ يّها النّاس menurut kaidah imlak
(يااْيها الناس)
·
membuang huruf yaa’ ,
huruf yaa’ dibuang dari manqushah munawwan , baik berharakat rafa’ maupun jarr,
seperti
باغ aslnya با غِى
·
membuang huruf wawu ,
dibuang apabila bergandengan dengan wawu yang lain. Seperti لاَ يَسْتَوْنَ asalnya لا يَسْتَوُوْنَ
·
membuang huruf lam ,
dihilangkan apabila dalam keadaan idhghom . seperti الَّيْلُ dan الّذى asal keduanya اللَّيْلُ dan اللَّذى
b) Al-Ziyadah ( penambahan),
Contoh :
·
menambahkan huruf alif
setelah wawu pada akhir isim jama’
seperti
ungkapan اُولُوا الاَلباب
dan مُلا قُوارَبِّهم
·
menambah alif setelah
hamzah marsumah wawu (hamzah yang terletak di atas tulisan
wawu) (ؤ ).
seperti : تَا الله
تَفْتَؤُا asalnya تَا الله تَفتَأُ
·
Penambahan huruf “yaa’
pada kata-kata مِنْ
تِلْقَائِ نَفْسِى dan حِجَابٍمن ورائ
·
Penambahan huruf
“wawu”, pada kata-kata tertentu اولات اولاء , الئك , اولوا dan ساوريكم.
c) Al-Hamzah,
Apabila hamzah berharakat sukun, ditulis dengan huruf berharakat yang
sebelumnya. Seperti : ائْذنْ kecuali pada beberapa keadaan.
·
Al-Hamzah al-Sakinah
yang aslinya ditulis di atas huruf yang sesuai dengan harakat sebelumnya, baik
di awal, tengah, maupun akhir, seperti هيء
,(جئنك),(اقرأ) kecuali
dalam kata-kata tertentu, seperti (فادارءثم) dan (ورءيا) maka kedua kata tersebut
hurufnya dihilangkan dan hamzah ditulis menyendiri.
·
Al-Hamzah
al-Mutaharrikah apabila berada di awal kata atau digabungkan dengan huruf
tambahan, hamzah tersebut ditulis dengan alif secara pasti (mutlak,
baik dalam keadaan fatah, dammah maupun kasrah, seperti kata (اولوا).(اذا),(أيوب),(فيأئ),(سأصرف)kecuali di
tempat-tempat tertentu seperti قل أئنكم لثكفرون di
dalam surah fushilat.
d) Badal (penggantian),
Contoh :
·
Alif di tulis dengan
wawu sebagai penghormatan pada kata : الصّلوةَ , الزّكوةّ
·
Alif di tulis dengan
yaa’ pada kata : أنّى , على , إلى yang berarti كيف ,
متى , بلى,
لدى
·
Alif di gantindengan
huruf nun taukid khafifah pada kata إذًا pada ungkapan (وكأين
من نبي), maka ditulis dengan nun’.
·
Ha’ at-Ta’nis ( ة ) ditulis dengan huruf ta (ث) .seperti
kata رحمة menjadi رحمت .
e) Washal (penyambungan) dan Fashl (pemisahan)
Washl : metode penyambungan kata yang mengakibatkan hilang atau dibuangnya
huruf tertentu.
Contoh :
·
(من ) min bersambng dengan maa ( ما
) penulisannya di sambung dan huruf nun
pada mim tidak ditulis.
Seperti : ممّاَ
kecuali pada من ما ملكت أيْما نكم
·
( إِنْ )
in disusul dengan maa ( ما ) ditulis bersambung dengan meniadakan nun
sehingga imma (
إمَّا ) , kecuali pada تو عدُون إنْ مَا
·
( مِن ) min disusul dengan man
( مَنْ ) ditulis bersambung dengan
menghilangkan huruf nun sehingga menjadi
mimman ( ممَّنْ )
bukan مِنْ مَنْ
f) Kata yang dapat dibaca dua bunyi
Suatu kata yang boleh dibaca
dengan dua cara tapi penulisannya disesuaikan dengan salah satu bunyinya.
Tetapi yang kita maksudkan bukan bacaan yang janggal (syaddzah).
Di dalam mushaf `Utsmani,
penulisan kata semacam itu di tulis dengan menghilangkan alif, misalnya “maliki
yaumiddin” . Ayat di atas boleh di baca dengan menetapkan alif (yakni di baca
dua alif), boleh juga hanya menurut bunyi harakat (yakni dibaca satu alif).
Kebanyakan mashaf ditulis mengikut kaedah-kaedah ini. Oleh itu,
penulisan mushaf Utsmani ini diakui penulisan yang bersifat tauqifi (penetapan,
penentuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka penggunaan
tulisan Imlai atau Qiasi tidaklah diharuskan.
F.
KESIMPULAN
1)
Dengan
adanya tanda-tanda tersebut, kini umat Islam di seluruh dunia, apa pun ras dan
warna kulit serta bahasa yang dianutnya, mereka mudah membaca Alquran. Ini
semua berkat peran tokoh-tokoh di atas dalam membawa umat menjadi lebih baik,
terutama dalam membaca Alquran.dia/sya/berbagai sumber
2)
Dengan berpedoman
kepada keduanya penulisan Mushhaf Alquran
yang dihasilkan akan lebih ilmiah, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya di negeri mana pun dan sampai kapan pun. Wallahu a’lam.
3)
Rasm
Al-qur’an adalah tata cara penulisan Al-qur’an, yang biasa disebut juga dengan
rasm Utsmani . Status hokum Rasm Al-qur’an masih diperselisihkan dalam tiga
hal: apakah tauqifi, bukan tauqifi atau ishtilahi.
Rasm Utsmani memiliki fungsi yang sangat besar dalam menyatukan
umat Islam.
Pada awalnya rasm Utsmani tidak memiliki tanda baca tapi kemudian
di tambahi dan disempurnakan
G.
DAFTAR PUSTAKA
ü
As-Shalih, Subhi. 1988. Mabahis Fi Ulum
Al-Quran. Beirut: Darul Ilmi.
ü
Al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi
Ilmu Ilmu Al-Qur’an. Tarj. Mudzakkir AS. Bandung: Pustaka Litera
AntarNusa.hal.215.
ü
Disalin dari
kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah
Farid Qurusy